Mengembangkan Metode Belajar yang Baik pada Anak
Oleh : Tarjono Mukhayat
FMIPA-UGM
Orang tua mana yang tidak ingin anaknya seperti anak ajaib dunia Alferd Nobel, Thomas Alfa Edison, Abraham Lincoln, Soekarno atau Habibie yang telah membuka cakrawala dunia atau mengukir sejarah peradaban manusia. Dikatakan anak ajaib dunia karena mereka dikenal luas dan diakui dunia dengan penemuan-penemuannya dan keahlian-keahliannya yang spektakuler dan yang telah membawa terobosan perubahan dalam kehidupan manusia. Jika Ibu-Ibu menginginkan anak tumbuh dan berkembang seperti mereka, Ibu-Ibu harus melihat latar belakang bagaimana mereka berkembang sejak kecil, bagaimana metode belajar mereka, bagaimana sikap hidup mereka, bagaimana mereka belajar menemukan sehingga menjadi orang yang dikenal luas.
Namun, jika kita melihat bagaimana anak kita belajar, apakah sudah memungkinkan melahirkan atau menciptakan anak ajaib dunia? Yang cukup ironisnya, mengalir arus deras kecaman tertuju pada mutu anak didik adalah kemampuannya sangat rendah dan sangat memprihatinkan. Kini yang menjadi tanda Tanya, mengapa kecaman yang demikian muncul dan membuat hati kita menjadi sedih? Bukankah setiap orang tua telah berusaha berbuat yang terbaik untuk putera-puterinya. Pendidikan anak telah dinomorsatukan, namun di mana letak kelemahan dan kekurangan yang menjadikan kemampuan dalam menyerap dan mengapklikasikan hasil belajar anak kita bermutu rendah?
Untuk mencari jawaban atau tudingan mengenai rendahnya mutu pendidikan anak kita, perlu ditelusuri bagaimana cara anak belajar pada umumnya. Kita tahu bahwa, rendahnya kemampuan belajar anak disebabkan minimnya kemampuan keterampilan belajar anak. Begitu juga metode belajar anak sebagian besar tidak efektif dalam menyerap inti pelajaran, apalagi untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil belajar tersebut. Jika kita perhatikan dan mau mengamati pola belajar di sekolah-sekolah di negeri ini, pada umumnya yang menganut sistem klasikal, anak didik yang mampu menyerap ilmu pengetahuan sebesar 80% dari yang diberikan guru hanya sebesar 15-20% saja per kelasnya. Padahal seorang guru itu hanya mampu menyajikan porsi ilmu pengetahuannya hanya berkisar 25% saja.
Melihat realita yang demikian, kita sebagai orang tua dan pembimbing tentu merasa sedih. Apalagi mengingat perkembangan IPTEK dan dinamika masyarakat demikian pesat, namun kemampuan mengaplikasikan ilmu pengetahuan begitu minim. Bagaimana pula anak akan tetap survive nanti? Mengapa begitu rendahnya kemampuan anak dalam menyerap ilmu pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja selalu menjadi aktual dalam pikiran kita. Sebagai orang tua tentunya akan selalu mencoba menerobos penghambat kemajuan-kemajuan anak, agar dirinya mampu dan dapat memegang peranan di tengah-tengah arus deras perkembangan IPTEK dan dinamika masyarakat. Banyak orang tua menerobos penghambat tersebut dengan memberikan pendidikan luar sekolah, seperti bimbingan belajar, private les atau kursus-kursus di luar jam sekolah formalnya. Namun itu akan sia-sia, jika metode belajar anak tidak dibenahi. Karena kelemahan anak dalam menyerap pelajaran ini, terutama terletak pada metode belajar anak dan dalam hal ini telah menjadi budaya sepanjang pendidikan di Indonesia.
Metode menghafal
Mengapa metode menghafal selalu menjadi pilihan dalam belajar? Begitu juga sering terdengar para orang tua yang selalu menekankan pada anak-anaknya, "Rajin-rajinlah menghafal, agar lulus ujian..!" Apakah metode Ibu-Ibu juga sering mengucapkan hal tersebut? Apakah metode menghafal ini benar-benar sudah berurat dan berakar dalam khasanah budaya belajar di Indonesia. Budaya menghafal yang selalu dijejalkan dan dibiasakan pada anak dini. Hal ini dapat di rujuk dan dilihat dalam pelajaran berhitung gaya lama, anak disuruh menghafalkan perkalian sampai dengan (dalam bahasa sundanya raraban).
Banyak pihak (ahli pendidikan) yang telah mengecam cara hafalan (drill and rote memorizing) seperti di atas, kepada anak didik tidak diajarkan proses berfikir 'mengapa'-nya soal. Pada anak hanya disuruh menghafalkan saja angka-angkanya. Faktor yang telah menjadi kebiasaan tersebut sangat sulit untuk diubah dan faktor tersebut telah mempengaruhi sikap dan pola berfikir, pola bertindak atau pola berbuat dalam belajar anak sepanjang hidupnya. Tidak heran belajar dengan cara menghafal tersebut tingkat kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada tataran tingkat yang rendah, yaitu hanya pada daerah tingkatan ingatan atau pemahaman saja.
Kecenderungan anak terperangkap dalam pikiran metode menghafal karena iklim yang terjadi di sekolah yang pada umumnya didominasi oleh komunikasi satu arah, yaitu guru ke murid dan kurang merangsang rasa ingin tahu, prakarsa maupun individualisasi. Siswa menjadi penerima yang pasif. Walaupun kurikulum telah dicanangkan Cara belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagai dasar strategi proses belajar mengajar, namun dalam praktek lapangan yang tertjadi masih dalam pola siswa datang, duduk, dengar, catat dan hafal (D3CH) dan siswa tidak dibiasakan untuk belajar secara aktif. Walaupun ada hanya pada 3-4 siswa saja yang aktif dan dijadikan acuan keberhasilan pengajaran oleh guru. Hal seperti ini semakin diperburuk ketika pemerintah masih lebih menekankan kuantitas anak mengenyam bangku pendidikan semata, tanpa diimbangi dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas anak yang dihasilkan.
Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian. Anak belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur dan sebagainya dan tidak ketinggalan titik komanya. Namun ketika waktu ujian berlangsung anak seperti menghadapi kertas buram. Anak tak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dihadapannya. Mengapa?
Metode menghafal ini juga mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Metode menghafal merupakan aktifitas yang tidak terlalu banyak menuntut aktifitas berfikir. Lambat-laun anak menjadi cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar. Hal ini menjadi terpola dalam banyak bentuk kebiasaan belajar. Anak kehilangan sense of learning. Kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya, sehingga anak tidak terbiasa dengan sikap kritis. Anak menjadi lemah, kemauan untuk eksplorasi ilmu pengetahuan tidak muncul ke permukaan pikirannya. Pada akhirnya berimbas pada motivasi belajar anak yang rendah. Anak cenderung mengganggap sepele proses belajar. Dengan anggapan melalui proses menghafal atau melatih ingatan saja sudah dianggap menguasai materi pelajaran secara utuh.
Tentu Ibu-Ibu tidak menginginkan anak menjadi seperti yang dinyatakan di atas, bukan? Oleh karena itu, Ibu-Ibu harus membenahi metode belajar anak. Di samping memberi bekal keterampilan belajar, Ibu-Ibu harus berusaha membiasakan anak menggunakan metode berfikir logis dan sistematis pada anak dalam belajarnya.
Metode Berfikir Logis dan Sistematis
Untuk memperoleh hasil belajar anak yang optimal dan prestasi yang membanggakan, serta mendapatkan kecakapan yang benar-benar dibutuhkan anak setelah melalui proses mengikuti sekolah dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, sejak dini Ibu-Ibu harus mengembangkan dan membiasakan mempergunakan metode berfikir logis dan sistematis ini pada anak setiap melakukan kegiatan belajarnya. Hal ini perlu dilakukan karena sesuatu yang biasa dilakukan berulang-ulang dan menjadi pola kebiasaan akan membentuk karakter anak dalam bagaimana berpikir, bagaimana berbuat dan bagaimana bertindak sebagai perwujudan aplikasi tahu-nya untuk menjawab segala bentuk kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya.
Tentunya sampai di sini, Ibu-Ibu ingin mengetahui lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan metode berpikir logis dan sistenatis ini. Bagaimana cara menerapkan metode tersebut pada anak?
Pengertian metode berpikir logis dan sistematis
Sentral kegiatan belajar dalam mempergunakan metode berpikir logis dan sistematis ini adalah mengedepankan proses berfikir aktif dalam mencerna, mengamati, menginterpretasikan dan menarik kesimpulan dari objek yang dipelajari. Jadi, proses belajar merupakan suatu aktivitas berpikir dan bagaimana berpikir itu dilakukan. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan berfikir kita dapat merujuk pendapat Plato yang mengartikan berfikir adalah berbicara dalam hati.
Secara lebih mendalam pengertian berpikir dapat dirujuk menurut pendapat Gieles SJ, yang mengartikan berfikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu sama lain.
Kata logis mengandung makna besar atau tepat berdasarkan aturan-aturan berpikir, kaidah-kaidah atau patokan-patokan yang umum berpikir yang digunakan untuk dapat berfikir tepat. Kata sistematis mengandung makna jalinan hubungan operasional antar bagian-bagian atau unsur-unsur dalam sebuah rangkaian pembentukan suatu maksud atau suatu pengertian.
Dengan demikian metode berpikir logis dan sistematis dapat diartikan sebagai usaha penyusunan jalan pikiran yang terarah berdasarkan kaidah-kaidah pembenaran secara objektif untuk mencari hakikat pengertian dari objek yang dipelajari dalam suatu rangkaian pembentukan kecakapan.
Nah, jika metode menghafal hanya mengacu pada pencapaian kemampuan ingatan belaka, pada metode berpikir logis dan sistematis ini lebih mengacu pada pemahaman pengertian (dapat mengerti), kemampuan aplikasi, kemampuan analisisi, kemampuan sintesis, bahkan kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses).
Cara menerapkan metode berpikir logis dan sistematis
Perlu Ibu-Ibu ketahui inti dari metode Berpikir logis dan sistematis adalah mendayagunakan proses berpikir aktif dalam mengamati, mengidentifikasi, mencatat, menganalisa, mencenrna, menginterprestasikan, mengabstraksi dan menarik kesimpulan atas objek yang dipelajari. Untuk itu dibutuhkan alat panduan atau alat penuntun atau alat pengarah fokus pemikiran untuk menguraikan atau menjelaskan atas objek yang dipelajari. Alat tersebut digunakan untuk membedah atau menguraikan yang akan digunakan untuk mengarahkan subjek belajar pada pengertian atas objek yang dipelajari. Dengan kata lain subjek belajar dapat menangkap atau memahami bentuk-bentuk operasional yang menghubungkan unsur-unsur atau bagian-bagian yang membentuk sebuah pengertian atau maksud. Yang dijadikan alat tesebut adalah kata "mengapa" atau "apa" atau "bagaimana".
Alat kata Tanya "mengapa", "apa" dan "bagaimana" tersebut yang menghantarkan subjek belajar untuk dapat mempergunakan daya pikirnya, memproses jalan pikirannya mencari dasar-dasar pengertian yang dipelajarinya hingga benar-benar dapat dimengerti. Misalnya,
Jika Ibu-Ibu memiliki anak kelas 5 SD diminta untuk menjawab pertanyaan berapa hasil dari ? Bagi anak yang telah terbiasa dengan metode menghafal tentu dapat langsung menjawab 72. Namun jika ditanya mengapa ? Anak akan kebingungan karena dibenaknya hanya tergambar ingatan memang = 72 begitu saja. Sebenarnya untuk menjawab soal tersebut pada anak harus mampu menguraikan atau menjelaskan pengertian bentuk operasional soal tersebut adalah perkalian,. Anak harus tahu apa yang dimaksud dengan perkalian tersebut. Perkalian itu mengandung arti, yaitu kelipatan bilangan yang dikehendaki atau bentuk penjumlahan bilangan yag sama sebanyak yang dikehendaki. Pada soal tersebut, kelipatan 8 sebanyak 9 kali yaitu = 72. Dengan demikian kemampuan untuk menguraikan bentuk operasional tersebut menunjukkan anak telah dapat menangkap makna atau pengertian dari soal tersebut.
Contoh lain :
Ditanyakan : "Penyesuaian diri makhluk hidup terhadap lingkungannya disebut adaptasi."
Penerapan metode belajar: Mengapa? Atau mengapa makhluk hidup perlu penyesuaian diri (adaptasi) terhadap lingkungan? (pertanyaan tersebut dapat diungkapkan langsung, dituliskan atau digantung di benak pikiran)
Pengertian: Penyesuaian diri (adaptasi) makhluk hidup terhadap lingkungan adalah untuk mempertahankan diri dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ditanyakan : "alat penghisap kupu-kupu disebut probosis"
Penerapan metode belajar: mengapa alat penghisap kupu-kupu disebut probosis?
Pengertian : Probosis tersebut adalah alat penghisap pada kupu-kupu yang berbentuk panjang yang dipergunakan untuk menghisap madu agar dapat sampai di dasar bunga
Ditanyakan : "vitamin berfungsi sebagai zat pengatur tubuh"
Penerapan metode belajar: mengapa vitamin itu dinyatakan berfungsi sebagai zat pengatur tubuh?
Pengertian: sebab vitamin menjaga tubuh kita agar tetap sehat dan mencegah timbulnya penyakit akibat kekurangan vitamin.
(pengertian di atas diperoleh dari uraian selanjutnya dari apa yang dipelajarinya)
dari beberapa contoh penerapan metode berpikir logis dan sistematis di atas, menunjukkan suatu penggiringan penalaran subjek belajar untuk mengetahui, mengamati, dan meneliti inti bentuk operasional atau inti hubungan unsure-unsur atau bagian-bagian yang membangun pengertian dari objek yang dipelajari. Subjek belajar pun benar-benar mengerti tidak hanya pada tataran kemampuan ingatan saja, namun mampu menerobos kemampuan aplikasi, analisis, sintesis bahkan evaluasi.
Oleh karena itu, Ibu-Ibu harus dapat mengembangkan metode berpikir logis dan sistematis ini pada anak. Untuk dapat melakukan belajar dengan metode ini perlu diingatkan dan dibiasakan siapkan selalu alat bedah atau pengurai, yaitu kata Tanya "mengapa" atau "apa" atau "bagaimana" di permukaan pikiran setiap melakukan proses belajar, baik belajar secara terpimpin (dalam bimbingan) atau belajar mandiri. Cara menggunakan alat bedah tersebut dapat diucapkan atau ditanyakan langsung pada nara sumber, atau dituliskan di atas kertas atau hanya menggantungt di benak pikiran.
Dengan menuliskan atau memindahkan alat bedah peertanyaan tersebut ke atas kertas secara konkret tentu akan merangsang subjek belajar untuk melakukan pengamatan, penguraian lebih lanjut. Bagaimana jalinan bentuk operasional atau bentuk hubungan antar variabel (unsur-unsur) yang membangun pengertian objek yang dipelajari, agar subjek belajar benar-benar mengerti apa yang dipelajari tersebut.
Menggantung alat bedah pertanyaan tersebut dalam pikiran akan memberi tantangan pada aspek sikap emosional untuk mencari jawab, untuk memahami dan untuk mengerti terhadap objek yang dipelajari.
Dua cara memahami pengetahuan
Misalkan siswa akan diajari membilang dalam bahasa Jepang. Maka siswa kita ajari membilang dari satu hingga dengan sepuluh seperti berikut: ichi, ni, san, shi atau yon, go, roku, shichi, hachi, kyuu, juu. Setelah itu kita beritahukan bahwa sebelas atau sepuluh-satu sampai dengan sembilan belas atau sepuluh-sembilan dalam bahasa Jepang diucapkan sebagai juu-ichi, juu-ni, juu-san, juu-shi, juu-go, juu-roku, juu-shichi, juu-hachi, dan juu-kyuu, sedangkan duapuluh disebut ni-juu. Setelah itu duapuluhsatu sampai dengan duapuluhsembilan disebut ni-juu-ichi, ni-juu-ni, ni-juu-san, ni-juu-shi, ni-juu-go, ni-juu-shichi, ni-juu-haci, dan ni-juu-kyuu, sedangkan tigapuluh ialah san-juu.
Setelah semua siswa disuruh menghafalkan semua fakta pengetahuan membilang dalam bahasa Jepang itu, kita tanyakan kepada mereka bagaimana menyebut enampuluhtiga. Akan ada dua jenis tanggapan yang muncul di kalangan siswa kita. Sekelompok siswa akan mengatakan bahwa pertanyaan itu ada di luar hafalan yang telah diperintahkan. Kelompok lainnya akan membuat penalaran. Karena tiga puluh ialah san-juu, haruslah enampuluh disebut roku-juu. Oleh karena itu enampuluhtiga dalam bahasa Jepang disebut roku-juu-san. Maka kelompok siswa pertama telah belajar menggunakan cara 'reproduksi' saja, yaitu menghafal semua fakta pengetahuan yang telah diberikan dan mengharapkan dapat memunculkan kembali mana saja dari semua butir pengetahuan yang telah diajarkan dan dihafalkan itu kalau ditanya. Kelompok kedua telah menghafal semua butir pengetahuan itu dalam bentuk 'reproduksi', namun di samping itu telah menemukan hubungan-hubungan antara berbagai fakta pengetahuan itu sehingga dapat menambah khazanah pengetahuan bermodalkan pengetahuan yang sudah diketahuinya. Kelompok ini dengan demikian telah memahami pengetahuan itu dalam cara 'generate' atau 'pembangkitan' dalam bentuk membilang dalam bahasa Jepang hingga dengan bilangan 'sembilanpuluhsembilan'.
Ketiga cara di atas akan membuat anak (subjek belajar) berperan aktif dan terlibat langsung dalam melakukan proses belajar, sehingga hasil belajar pun akan berdaya guna dan optimal. Syarat yang harus dimiliki anak, anak dirinya dapat melakukan kegiatan proses belajar, yaitu:
Minat
Minat menjadi faktor yang besar pada pembentukan perilaku dan sikap seseorang. Secara sederhana minat dapat diartikan sebagai suatu keinginan untuk memposisikan diri pada pencapaian pemuasan kebutuhan seseorang. Minat juga yang menjadi daya pendorong bagi kita untuk melakukan apa yang kita inginkan. Semakin kuat kebutuhan atau semakin pentingnya kebutuhan itu, semakin kuat bertahannya minat pada objek pemenuhan diri tersebut. Sebaliknya, seseuatu yang tidak dapat memuaskan keinginan atau dipandang tidak memenuhi keinginan saat itu tentunya akan menimbulkan kebosanan atau kemalasan serta akan membentuk sikap penolakan dari dalam diri kita pada kegiatan tersebut. Untuk mengembangkan minat belajar pada anak tidak lain, Ibu-Ibu harus dapat menanamkan pada anak Ibu-Ibu manfaat dari belajar dan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. Belajar merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi untuk mendapatkan kecakapan-kecakapan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Bukan hanya sekedar lulus ujian semata, melainkan sebagai bekal di kehidupan yang akan datang.
Perhatian
Perhatian merupakan suatu bentuk aktivitas yang dilakukan seseorang sehari-hari. Pada perhatian tersebut mengandung unsure pemusatan tenaga psikis berupa kesadaran yang turut serta pada aktivitas tersebut yang ditujukan pada suatu objek. Dengan kata lain, perhatian adalah proses tanggapan atau penalaran yang ditujukan pada suatu objek. Semakin beremutu penalaran yang ditujukan pada suatu objek, semakin intensif perhatian orang tersebut.
Bermutu tidaknya suatu objek bagi seseorang berhubungan dengan adanya minat orang tersebut pada suatu objek. Jika objek tersebut dapat memenuhi atau merangsang minat, orang tersebut akan memberikan perhatian secara lebih intensif.
Motivasi
Setiap aktivitas yang kita lakukan tentunya didasari oleh suatu alasan tertentu. Alasan yang mengarahkan tingkah laku kita untuk mencapai tujuan tertentu. Alasan merupakan suatu kekuatan dari dalam diri kita untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, alasan merupakan sumber daya untuk memulai serangkaian tingkah laku atau perbuatan, sedangkan motivasi adalah dorongan atau usaha yang dilakukan untuk mewujudkan perbuatan atau proses menggerakkan alasan-alasan menjadi perbuatan nyata atau tingkah laku dalam mencapai suatu tujuan tertentu
Tugas orang tua adalah bagaimana membangkitkan motivasi anak, sehingga anak mau melakukan proses belajar. Motivasi ini timbul dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik) dan dapat juga timbul akibat dari pengaruh dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik).
Dengan demikian akan terbina sikap kritis selalu pada anak (subjek belajar) untuk mengembangkan dan mengarahkan sikap ilmiahnya atau sikap ingin tahunya atau sikap ingin majunya. Dengan kata lain, pengembangan metode berpikir logis dan sistematis ini dapat menumbuhkan sikap kreatif dan inovatif pada anak. Hal ini ditandainya oleh peningkatan produktifitas dan rangsangan untuk berimajinasi. Metode ini juga akan memberi dorongan untuk mencari jalan keluar dan tidak menerima begitu saja apa yang ada. ™
Namun, jika kita melihat bagaimana anak kita belajar, apakah sudah memungkinkan melahirkan atau menciptakan anak ajaib dunia? Yang cukup ironisnya, mengalir arus deras kecaman tertuju pada mutu anak didik adalah kemampuannya sangat rendah dan sangat memprihatinkan. Kini yang menjadi tanda Tanya, mengapa kecaman yang demikian muncul dan membuat hati kita menjadi sedih? Bukankah setiap orang tua telah berusaha berbuat yang terbaik untuk putera-puterinya. Pendidikan anak telah dinomorsatukan, namun di mana letak kelemahan dan kekurangan yang menjadikan kemampuan dalam menyerap dan mengapklikasikan hasil belajar anak kita bermutu rendah?
Untuk mencari jawaban atau tudingan mengenai rendahnya mutu pendidikan anak kita, perlu ditelusuri bagaimana cara anak belajar pada umumnya. Kita tahu bahwa, rendahnya kemampuan belajar anak disebabkan minimnya kemampuan keterampilan belajar anak. Begitu juga metode belajar anak sebagian besar tidak efektif dalam menyerap inti pelajaran, apalagi untuk mengaplikasikan ilmu pengetahuan yang diperoleh dari hasil belajar tersebut. Jika kita perhatikan dan mau mengamati pola belajar di sekolah-sekolah di negeri ini, pada umumnya yang menganut sistem klasikal, anak didik yang mampu menyerap ilmu pengetahuan sebesar 80% dari yang diberikan guru hanya sebesar 15-20% saja per kelasnya. Padahal seorang guru itu hanya mampu menyajikan porsi ilmu pengetahuannya hanya berkisar 25% saja.
Melihat realita yang demikian, kita sebagai orang tua dan pembimbing tentu merasa sedih. Apalagi mengingat perkembangan IPTEK dan dinamika masyarakat demikian pesat, namun kemampuan mengaplikasikan ilmu pengetahuan begitu minim. Bagaimana pula anak akan tetap survive nanti? Mengapa begitu rendahnya kemampuan anak dalam menyerap ilmu pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu saja selalu menjadi aktual dalam pikiran kita. Sebagai orang tua tentunya akan selalu mencoba menerobos penghambat kemajuan-kemajuan anak, agar dirinya mampu dan dapat memegang peranan di tengah-tengah arus deras perkembangan IPTEK dan dinamika masyarakat. Banyak orang tua menerobos penghambat tersebut dengan memberikan pendidikan luar sekolah, seperti bimbingan belajar, private les atau kursus-kursus di luar jam sekolah formalnya. Namun itu akan sia-sia, jika metode belajar anak tidak dibenahi. Karena kelemahan anak dalam menyerap pelajaran ini, terutama terletak pada metode belajar anak dan dalam hal ini telah menjadi budaya sepanjang pendidikan di Indonesia.
Metode menghafal
Mengapa metode menghafal selalu menjadi pilihan dalam belajar? Begitu juga sering terdengar para orang tua yang selalu menekankan pada anak-anaknya, "Rajin-rajinlah menghafal, agar lulus ujian..!" Apakah metode Ibu-Ibu juga sering mengucapkan hal tersebut? Apakah metode menghafal ini benar-benar sudah berurat dan berakar dalam khasanah budaya belajar di Indonesia. Budaya menghafal yang selalu dijejalkan dan dibiasakan pada anak dini. Hal ini dapat di rujuk dan dilihat dalam pelajaran berhitung gaya lama, anak disuruh menghafalkan perkalian sampai dengan (dalam bahasa sundanya raraban).
Banyak pihak (ahli pendidikan) yang telah mengecam cara hafalan (drill and rote memorizing) seperti di atas, kepada anak didik tidak diajarkan proses berfikir 'mengapa'-nya soal. Pada anak hanya disuruh menghafalkan saja angka-angkanya. Faktor yang telah menjadi kebiasaan tersebut sangat sulit untuk diubah dan faktor tersebut telah mempengaruhi sikap dan pola berfikir, pola bertindak atau pola berbuat dalam belajar anak sepanjang hidupnya. Tidak heran belajar dengan cara menghafal tersebut tingkat kemampuan kognitif anak yang terbentuk hanya pada tataran tingkat yang rendah, yaitu hanya pada daerah tingkatan ingatan atau pemahaman saja.
Kecenderungan anak terperangkap dalam pikiran metode menghafal karena iklim yang terjadi di sekolah yang pada umumnya didominasi oleh komunikasi satu arah, yaitu guru ke murid dan kurang merangsang rasa ingin tahu, prakarsa maupun individualisasi. Siswa menjadi penerima yang pasif. Walaupun kurikulum telah dicanangkan Cara belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagai dasar strategi proses belajar mengajar, namun dalam praktek lapangan yang tertjadi masih dalam pola siswa datang, duduk, dengar, catat dan hafal (D3CH) dan siswa tidak dibiasakan untuk belajar secara aktif. Walaupun ada hanya pada 3-4 siswa saja yang aktif dan dijadikan acuan keberhasilan pengajaran oleh guru. Hal seperti ini semakin diperburuk ketika pemerintah masih lebih menekankan kuantitas anak mengenyam bangku pendidikan semata, tanpa diimbangi dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas anak yang dihasilkan.
Cara-cara menghafal semakin intensif dilakukan anak menjelang ujian. Anak belajar mengingat atau mengecamkan materi, rumus-rumus, definisi, unsur-unsur dan sebagainya dan tidak ketinggalan titik komanya. Namun ketika waktu ujian berlangsung anak seperti menghadapi kertas buram. Anak tak mampu mengoperasionalkan rumus-rumus yang dihafalnya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dihadapannya. Mengapa?
Metode menghafal ini juga mengandung akibat buruk pada perkembangan mental anak. Metode menghafal merupakan aktifitas yang tidak terlalu banyak menuntut aktifitas berfikir. Lambat-laun anak menjadi cenderung suka mencari gampangnya saja dalam belajar. Hal ini menjadi terpola dalam banyak bentuk kebiasaan belajar. Anak kehilangan sense of learning. Kebiasaan yang membuat anak bersikap pasif atau menerima begitu saja apa adanya, sehingga anak tidak terbiasa dengan sikap kritis. Anak menjadi lemah, kemauan untuk eksplorasi ilmu pengetahuan tidak muncul ke permukaan pikirannya. Pada akhirnya berimbas pada motivasi belajar anak yang rendah. Anak cenderung mengganggap sepele proses belajar. Dengan anggapan melalui proses menghafal atau melatih ingatan saja sudah dianggap menguasai materi pelajaran secara utuh.
Tentu Ibu-Ibu tidak menginginkan anak menjadi seperti yang dinyatakan di atas, bukan? Oleh karena itu, Ibu-Ibu harus membenahi metode belajar anak. Di samping memberi bekal keterampilan belajar, Ibu-Ibu harus berusaha membiasakan anak menggunakan metode berfikir logis dan sistematis pada anak dalam belajarnya.
Metode Berfikir Logis dan Sistematis
Untuk memperoleh hasil belajar anak yang optimal dan prestasi yang membanggakan, serta mendapatkan kecakapan yang benar-benar dibutuhkan anak setelah melalui proses mengikuti sekolah dalam kehidupan nyata dalam masyarakat, sejak dini Ibu-Ibu harus mengembangkan dan membiasakan mempergunakan metode berfikir logis dan sistematis ini pada anak setiap melakukan kegiatan belajarnya. Hal ini perlu dilakukan karena sesuatu yang biasa dilakukan berulang-ulang dan menjadi pola kebiasaan akan membentuk karakter anak dalam bagaimana berpikir, bagaimana berbuat dan bagaimana bertindak sebagai perwujudan aplikasi tahu-nya untuk menjawab segala bentuk kebutuhan dan persoalan yang dihadapinya.
Tentunya sampai di sini, Ibu-Ibu ingin mengetahui lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan metode berpikir logis dan sistenatis ini. Bagaimana cara menerapkan metode tersebut pada anak?
Pengertian metode berpikir logis dan sistematis
Sentral kegiatan belajar dalam mempergunakan metode berpikir logis dan sistematis ini adalah mengedepankan proses berfikir aktif dalam mencerna, mengamati, menginterpretasikan dan menarik kesimpulan dari objek yang dipelajari. Jadi, proses belajar merupakan suatu aktivitas berpikir dan bagaimana berpikir itu dilakukan. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan berfikir kita dapat merujuk pendapat Plato yang mengartikan berfikir adalah berbicara dalam hati.
Secara lebih mendalam pengertian berpikir dapat dirujuk menurut pendapat Gieles SJ, yang mengartikan berfikir adalah berbicara dengan dirinya sendiri dalam batin, yaitu mempertimbangkan, merenungkan, menganalisis, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan-alasan, menarik kesimpulan, meneliti sesuatu jalan pikiran, mencari bagaimana berbagai hal itu berhubungan satu sama lain.
Kata logis mengandung makna besar atau tepat berdasarkan aturan-aturan berpikir, kaidah-kaidah atau patokan-patokan yang umum berpikir yang digunakan untuk dapat berfikir tepat. Kata sistematis mengandung makna jalinan hubungan operasional antar bagian-bagian atau unsur-unsur dalam sebuah rangkaian pembentukan suatu maksud atau suatu pengertian.
Dengan demikian metode berpikir logis dan sistematis dapat diartikan sebagai usaha penyusunan jalan pikiran yang terarah berdasarkan kaidah-kaidah pembenaran secara objektif untuk mencari hakikat pengertian dari objek yang dipelajari dalam suatu rangkaian pembentukan kecakapan.
Nah, jika metode menghafal hanya mengacu pada pencapaian kemampuan ingatan belaka, pada metode berpikir logis dan sistematis ini lebih mengacu pada pemahaman pengertian (dapat mengerti), kemampuan aplikasi, kemampuan analisisi, kemampuan sintesis, bahkan kemampuan evaluasi untuk membentuk kecakapan (suatu proses).
Cara menerapkan metode berpikir logis dan sistematis
Perlu Ibu-Ibu ketahui inti dari metode Berpikir logis dan sistematis adalah mendayagunakan proses berpikir aktif dalam mengamati, mengidentifikasi, mencatat, menganalisa, mencenrna, menginterprestasikan, mengabstraksi dan menarik kesimpulan atas objek yang dipelajari. Untuk itu dibutuhkan alat panduan atau alat penuntun atau alat pengarah fokus pemikiran untuk menguraikan atau menjelaskan atas objek yang dipelajari. Alat tersebut digunakan untuk membedah atau menguraikan yang akan digunakan untuk mengarahkan subjek belajar pada pengertian atas objek yang dipelajari. Dengan kata lain subjek belajar dapat menangkap atau memahami bentuk-bentuk operasional yang menghubungkan unsur-unsur atau bagian-bagian yang membentuk sebuah pengertian atau maksud. Yang dijadikan alat tesebut adalah kata "mengapa" atau "apa" atau "bagaimana".
Alat kata Tanya "mengapa", "apa" dan "bagaimana" tersebut yang menghantarkan subjek belajar untuk dapat mempergunakan daya pikirnya, memproses jalan pikirannya mencari dasar-dasar pengertian yang dipelajarinya hingga benar-benar dapat dimengerti. Misalnya,
Jika Ibu-Ibu memiliki anak kelas 5 SD diminta untuk menjawab pertanyaan berapa hasil dari ? Bagi anak yang telah terbiasa dengan metode menghafal tentu dapat langsung menjawab 72. Namun jika ditanya mengapa ? Anak akan kebingungan karena dibenaknya hanya tergambar ingatan memang = 72 begitu saja. Sebenarnya untuk menjawab soal tersebut pada anak harus mampu menguraikan atau menjelaskan pengertian bentuk operasional soal tersebut adalah perkalian,. Anak harus tahu apa yang dimaksud dengan perkalian tersebut. Perkalian itu mengandung arti, yaitu kelipatan bilangan yang dikehendaki atau bentuk penjumlahan bilangan yag sama sebanyak yang dikehendaki. Pada soal tersebut, kelipatan 8 sebanyak 9 kali yaitu = 72. Dengan demikian kemampuan untuk menguraikan bentuk operasional tersebut menunjukkan anak telah dapat menangkap makna atau pengertian dari soal tersebut.
Contoh lain :
Ditanyakan : "Penyesuaian diri makhluk hidup terhadap lingkungannya disebut adaptasi."
Penerapan metode belajar: Mengapa? Atau mengapa makhluk hidup perlu penyesuaian diri (adaptasi) terhadap lingkungan? (pertanyaan tersebut dapat diungkapkan langsung, dituliskan atau digantung di benak pikiran)
Pengertian: Penyesuaian diri (adaptasi) makhluk hidup terhadap lingkungan adalah untuk mempertahankan diri dan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Ditanyakan : "alat penghisap kupu-kupu disebut probosis"
Penerapan metode belajar: mengapa alat penghisap kupu-kupu disebut probosis?
Pengertian : Probosis tersebut adalah alat penghisap pada kupu-kupu yang berbentuk panjang yang dipergunakan untuk menghisap madu agar dapat sampai di dasar bunga
Ditanyakan : "vitamin berfungsi sebagai zat pengatur tubuh"
Penerapan metode belajar: mengapa vitamin itu dinyatakan berfungsi sebagai zat pengatur tubuh?
Pengertian: sebab vitamin menjaga tubuh kita agar tetap sehat dan mencegah timbulnya penyakit akibat kekurangan vitamin.
(pengertian di atas diperoleh dari uraian selanjutnya dari apa yang dipelajarinya)
dari beberapa contoh penerapan metode berpikir logis dan sistematis di atas, menunjukkan suatu penggiringan penalaran subjek belajar untuk mengetahui, mengamati, dan meneliti inti bentuk operasional atau inti hubungan unsure-unsur atau bagian-bagian yang membangun pengertian dari objek yang dipelajari. Subjek belajar pun benar-benar mengerti tidak hanya pada tataran kemampuan ingatan saja, namun mampu menerobos kemampuan aplikasi, analisis, sintesis bahkan evaluasi.
Oleh karena itu, Ibu-Ibu harus dapat mengembangkan metode berpikir logis dan sistematis ini pada anak. Untuk dapat melakukan belajar dengan metode ini perlu diingatkan dan dibiasakan siapkan selalu alat bedah atau pengurai, yaitu kata Tanya "mengapa" atau "apa" atau "bagaimana" di permukaan pikiran setiap melakukan proses belajar, baik belajar secara terpimpin (dalam bimbingan) atau belajar mandiri. Cara menggunakan alat bedah tersebut dapat diucapkan atau ditanyakan langsung pada nara sumber, atau dituliskan di atas kertas atau hanya menggantungt di benak pikiran.
Dengan menuliskan atau memindahkan alat bedah peertanyaan tersebut ke atas kertas secara konkret tentu akan merangsang subjek belajar untuk melakukan pengamatan, penguraian lebih lanjut. Bagaimana jalinan bentuk operasional atau bentuk hubungan antar variabel (unsur-unsur) yang membangun pengertian objek yang dipelajari, agar subjek belajar benar-benar mengerti apa yang dipelajari tersebut.
Menggantung alat bedah pertanyaan tersebut dalam pikiran akan memberi tantangan pada aspek sikap emosional untuk mencari jawab, untuk memahami dan untuk mengerti terhadap objek yang dipelajari.
Dua cara memahami pengetahuan
Misalkan siswa akan diajari membilang dalam bahasa Jepang. Maka siswa kita ajari membilang dari satu hingga dengan sepuluh seperti berikut: ichi, ni, san, shi atau yon, go, roku, shichi, hachi, kyuu, juu. Setelah itu kita beritahukan bahwa sebelas atau sepuluh-satu sampai dengan sembilan belas atau sepuluh-sembilan dalam bahasa Jepang diucapkan sebagai juu-ichi, juu-ni, juu-san, juu-shi, juu-go, juu-roku, juu-shichi, juu-hachi, dan juu-kyuu, sedangkan duapuluh disebut ni-juu. Setelah itu duapuluhsatu sampai dengan duapuluhsembilan disebut ni-juu-ichi, ni-juu-ni, ni-juu-san, ni-juu-shi, ni-juu-go, ni-juu-shichi, ni-juu-haci, dan ni-juu-kyuu, sedangkan tigapuluh ialah san-juu.
Setelah semua siswa disuruh menghafalkan semua fakta pengetahuan membilang dalam bahasa Jepang itu, kita tanyakan kepada mereka bagaimana menyebut enampuluhtiga. Akan ada dua jenis tanggapan yang muncul di kalangan siswa kita. Sekelompok siswa akan mengatakan bahwa pertanyaan itu ada di luar hafalan yang telah diperintahkan. Kelompok lainnya akan membuat penalaran. Karena tiga puluh ialah san-juu, haruslah enampuluh disebut roku-juu. Oleh karena itu enampuluhtiga dalam bahasa Jepang disebut roku-juu-san. Maka kelompok siswa pertama telah belajar menggunakan cara 'reproduksi' saja, yaitu menghafal semua fakta pengetahuan yang telah diberikan dan mengharapkan dapat memunculkan kembali mana saja dari semua butir pengetahuan yang telah diajarkan dan dihafalkan itu kalau ditanya. Kelompok kedua telah menghafal semua butir pengetahuan itu dalam bentuk 'reproduksi', namun di samping itu telah menemukan hubungan-hubungan antara berbagai fakta pengetahuan itu sehingga dapat menambah khazanah pengetahuan bermodalkan pengetahuan yang sudah diketahuinya. Kelompok ini dengan demikian telah memahami pengetahuan itu dalam cara 'generate' atau 'pembangkitan' dalam bentuk membilang dalam bahasa Jepang hingga dengan bilangan 'sembilanpuluhsembilan'.
Ketiga cara di atas akan membuat anak (subjek belajar) berperan aktif dan terlibat langsung dalam melakukan proses belajar, sehingga hasil belajar pun akan berdaya guna dan optimal. Syarat yang harus dimiliki anak, anak dirinya dapat melakukan kegiatan proses belajar, yaitu:
Minat
Minat menjadi faktor yang besar pada pembentukan perilaku dan sikap seseorang. Secara sederhana minat dapat diartikan sebagai suatu keinginan untuk memposisikan diri pada pencapaian pemuasan kebutuhan seseorang. Minat juga yang menjadi daya pendorong bagi kita untuk melakukan apa yang kita inginkan. Semakin kuat kebutuhan atau semakin pentingnya kebutuhan itu, semakin kuat bertahannya minat pada objek pemenuhan diri tersebut. Sebaliknya, seseuatu yang tidak dapat memuaskan keinginan atau dipandang tidak memenuhi keinginan saat itu tentunya akan menimbulkan kebosanan atau kemalasan serta akan membentuk sikap penolakan dari dalam diri kita pada kegiatan tersebut. Untuk mengembangkan minat belajar pada anak tidak lain, Ibu-Ibu harus dapat menanamkan pada anak Ibu-Ibu manfaat dari belajar dan pentingnya belajar dalam kehidupan manusia. Belajar merupakan kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi untuk mendapatkan kecakapan-kecakapan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Bukan hanya sekedar lulus ujian semata, melainkan sebagai bekal di kehidupan yang akan datang.
Perhatian
Perhatian merupakan suatu bentuk aktivitas yang dilakukan seseorang sehari-hari. Pada perhatian tersebut mengandung unsure pemusatan tenaga psikis berupa kesadaran yang turut serta pada aktivitas tersebut yang ditujukan pada suatu objek. Dengan kata lain, perhatian adalah proses tanggapan atau penalaran yang ditujukan pada suatu objek. Semakin beremutu penalaran yang ditujukan pada suatu objek, semakin intensif perhatian orang tersebut.
Bermutu tidaknya suatu objek bagi seseorang berhubungan dengan adanya minat orang tersebut pada suatu objek. Jika objek tersebut dapat memenuhi atau merangsang minat, orang tersebut akan memberikan perhatian secara lebih intensif.
Motivasi
Setiap aktivitas yang kita lakukan tentunya didasari oleh suatu alasan tertentu. Alasan yang mengarahkan tingkah laku kita untuk mencapai tujuan tertentu. Alasan merupakan suatu kekuatan dari dalam diri kita untuk melakukan sesuatu. Dengan kata lain, alasan merupakan sumber daya untuk memulai serangkaian tingkah laku atau perbuatan, sedangkan motivasi adalah dorongan atau usaha yang dilakukan untuk mewujudkan perbuatan atau proses menggerakkan alasan-alasan menjadi perbuatan nyata atau tingkah laku dalam mencapai suatu tujuan tertentu
Tugas orang tua adalah bagaimana membangkitkan motivasi anak, sehingga anak mau melakukan proses belajar. Motivasi ini timbul dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik) dan dapat juga timbul akibat dari pengaruh dari luar dirinya (motivasi ekstrinsik).
Dengan demikian akan terbina sikap kritis selalu pada anak (subjek belajar) untuk mengembangkan dan mengarahkan sikap ilmiahnya atau sikap ingin tahunya atau sikap ingin majunya. Dengan kata lain, pengembangan metode berpikir logis dan sistematis ini dapat menumbuhkan sikap kreatif dan inovatif pada anak. Hal ini ditandainya oleh peningkatan produktifitas dan rangsangan untuk berimajinasi. Metode ini juga akan memberi dorongan untuk mencari jalan keluar dan tidak menerima begitu saja apa yang ada. ™